2015-11-17

HUTAN SENJAKALA

Oleh: Ahmad Khoirus Salim

Menikmati suasana langit senja, itulah yang biasa aku lakukan untuk melepaskan segala kepenatan rutinitas. Aku biasa duduk berlama-lama di atas batu di tepian hutan ini. Letaknya memang tidak seberapa jauh dari pondok sederhana yang kutempati. Bagiku, langit senja memberikan selaksa kekuatan baru. Langit senja tiba-tiba saja memberiku suntikan energi saat aku jenuh dan jengah kala memikirkan segala pekerjaanku.

Jika kuperhatikan tumpukan kayu gelondongan di samping pondokku, ada berjuta tanya menyelinap di hati. Kenapa harus kulakukan semua ini? Mungkin aku terlalu naïf, terlalu munafik. Aku jengah dan jenuh dengan pekerjaanku, tetapi aku mesti tetap saja melakoninya. Aku sadar, dari hasil inilah keluargaku dapat terus mengepulkan asap dapur, pun kebutuhan sehari-hari dan yang paling penting, sekolah anakku.
Pelan-pelan aku beringsut meninggalkan tempat favoritku itu. Senja sudah semakin menghitam. Kelelawar mulai berkelepak mencari penghidupan. Binatang-binatang malam mulai riuh bersuara. Aku kembali ke pondok yang sumpek oleh gelak tawa dan asap rokok. Di situlah aku dan beberapa kawan menghabiskan malam dingin dan sepi.
##

Sambil mengasah kapak, kudengarkan siaran berita pagi dari radio transistor butut yang sengaja kubawa dari rumah. Itulah satu-satunya hiburan di tengah hutan seperti ini, lumayan sebagai pengusir sepi dan suntuk.
Saudara pendengar di manapun anda berada, menurut kabar dari Badan Meteorologi dan Geofisika, diperkirakan dalam beberapa hari ini cuaca buruk akan melanda sebagian wilayah Indonesia. Di beberapa daerah, hujan akan turun dengan intensitas cukup tinggi. Angin pun kan bertiup cukup kencang. Dimohon kepada masyarakat agar tetap waspada menghadapi berbagai kemungkinan …
Ah, ramalan cuaca. Kadang bisa benar kadang pun tidak terjadi. Jika benar, alamat repotlah kami dibuatnya. Hujan tentu akan sangat menyulitkan kelancaran pekerjaanku. Suasana di hutan pun akan semakin dingin menyayat tulang. Aku berharap semoga saja ramalan cuaca itu agak-agak meleset dan tak terjadi.
“Man… Parman! Ayo cepat sedikit! Kita sekarang ke arah selatan. Di sana masih lumayan banyak. Sebelah timur sudah hampir habis, tinggal yang kecil-kecil.”
Teriakan Barjo sedikit mengagetkanku. Dia tampak sudah siap dengan segala piranti dan perbekalan. Segulung tambang melingkar di bahu kanannya. Gergaji mesin dan parang pun siap pula di tangan dan ikat pinggangnya. Sementara itu, aku belum bersedia apa-apa.
“Gundul dan Masno ikut juga?”
Aku belum melihat kedua kawanku yang lain.
“Mereka akan membereskan bagian timur yang masih tersisa. Sayang kalau dilewatkan. Masih ada kok yang mau menampung walau ukurannya masih segitu.”
Apa?! Aku berteriak terkejut dalam hati. Bagian hutan sebelah timur sudah teramat mengenaskan kondisinya, kenapa masih disakiti terus? Padahal, pohon yang masih kecil-kecil itu merupakan cadangan masa mendatang. Jika benar-benar dihabiskan oleh kedua kawanku itu. Aku benar-benar tak habis pikir. Aku takut mereka tak lagi bekerja berdasarkan kebutuhan, melainkan keserakahan semata. Diam-diam timbul sesalku dalam hati, kenapa aku sampai mengikuti mereka…
“Ayo cepat, Man!” lagi-lagi teriakan itu menyentak gendang telingaku. Aku tak punya alasan lagi. Ah, sudahlah.
Begitulah rutinitas kami setiap hari. Sering kudengar di siaran berita lewat radio transistor bututku setiap pagi, rutinitas seperti ini amat sangat dilarang oleh pemerintah. Berbahaya bagi kelangsungan habitat hutan, illegal … illegal loging atau apalah itu namanya, kurang paham aku sengan bahasa Inggris.
Yang kuyakini dan kubenarkan seratus persen  adalah akan adanya dampak buruk dari rutinitas kami ini. Aku sering merasa berosa, sangat berdosa. Kami telah merusak alam, kami mengobrak-abrik rumah-rumah nyaman para binatang penghuni hutan. Kami menghancurkan belukar-belukar rimbun penuh keindahan. Kami kejam, aku biadab. Kami lebih buas dari binatang-binatang buas liar manapun.
Namun, aku juga tidak bisa naïf. Sekali lagi ini adalah pilihan teramat sulit. Aku dan keluargaku butuh makan dan lain-lainnya. Anakku harus bersekolah, biar tidak bodoh seperti bapaknya ini. Semenjak di-PHK tanpa alasan jelas dari pabik furniture itu, aku kebingungan lontang-lantung menjadi pengangguran. Sementara, hutang-hutang semakin melilit. Beruntung, sebulan berlalu, tawaran dari Barjo membuatku lega. Aku bisa kembali menggapai rejeki meski hati kecilku sering berontak.
##

Dua minggu sudah kami berdiam di hutan. Rencananya kami akan tinggal sampai sebulan. Tentang kebutuhan pangan dan lain-lain, ada tetangga kami yang menyuplai setiap seminggu sekali. Dia orang yang sangat kami percaya. Sudah lama dia bekerja sama dengan kami. Dia datang dengan perahu, menyusuri sungai di tengah hutan. Lewat sungai itu pula kayu-kayu yang kami kumpulkan biasa diangkut penadah.
Selama di hutan, aku merasa banyak hal yang menghilang. Kicau burung yang seringkali menghiburku di pagi hari entah kenapa semakin menjauh. Binatang-binatang lainnya juga sudah jarang kutemui. Tidak ada lagi kijang atau kancil yang biasanya sering kupergoki tiba-tiba melintas di jalan. Tidak ada lagi auman raja hutan yang mendirikan bulu roma. Tidak ada lagi teriakan-teriakan primata yang memekakkan. Di mana semuanya?
Hari ini, tetangga kami akan datang membawakan kebutuhan hidup kami. Kali ini aku yang bertugas menjemputnya di tepi sungai. Aku menunggunya dengan sabar di tepian sungai. Akhirnya, tak lama dia datang.
“Ada salam dari istri dan anakmu,” katanya padaku saat merapatkan perahunya ke tepian. Aku tersenyum.
“Tidak biasanya dia berkirim salam padaku.”
“Kangen mungkin, kupikir dia ingin kamu cepat pulang.”
“Katakan padanya, masih dua minggu lagi aku di hutan. Biasanya juga aku pergi sebulan lebih.”
Kuangkuti karung dari dalam perahu, isinya bermacam-macam.
“Oh ya, bagaimana kabar anakku?”
“Baik-baik saja. Malah dia mengingatkan kalau minggu awal bulan depan kau harus di rumah. Dia akan menerima raport. Jangan sampai lupa.”
“Sip lah. Pasti dia dapat ranking lagi, he he he.”
Bangga sekali aku setiap mengingat hal itu. Aku berdiri di samping anakku, kami  berdiri gagah di podium dan dia menggenggam piala dari kepala sekolah.
##

Akhir-akhir ini, keanehan di hutan semakin menjadi. Sepi terasa semakin menyayat, terutama di siang hari. Hanya pada malam hari erikan jangkerik masih menghiasi suasana.
“Masa kamu tidak paham dengan hal itu?”
Masno memandangiku dengan senyum kecut. Bibirnya tak henti mengepulkan asap.
“Itu semua terjadi karena apa yang kita lakukan. Hewan-hewan itu, mereka merasa terganggu dan pergi menjauh. Rumah mereka sudah hancur. Mereka mencari tempat yang lebih nyaman. Tak tahu ke mana mereka pergi.”
Aku semakin merasa hina dan berdosa.
“Hanya … hanya karena itukah?”
“Itu yang paling utama. Kemungkinan yang kedua, ah, lebih membahayakan bahkan untuk kita.”
 “Apa kemungkinan kedua itu?”
“Begini, hewan memiliki insting yang sangat peka. Salah satu kepekaan mereka yaitu dapat merasakan akan adanya suatu bencana. Karena itu, mereka bergegas pindah ke tempat yang dirasa lebih aman. Misalnya saat akan terjadi banjir atau hujan badai, mereka akan pindah ke daerah yang lebih tinggi.”
Aku teringat sesuatu. Seminggu lalu kulihat serombongan burung terbang beriringan dari hutan menuju bukit sebelah barat. Bukit itu memang paling tinggi di antara yang lain. Apakah itu juga suatu pertanda? Apakah prakiraan cuaca yang sempat kudengar dari radio bututku benar-benar akan terjadi?
“Bisa jadi,” Masno menyahut serius.
“Kita harus waspada setiap saat. Kang, sebenarnya, aku tidak enak hati bekerja seperti ini.”
Masno berkata kelu. Aku terhenyak, ternyata pikiran Masno sama denganku!
“Benarkah? Aku juga demikian, No.”
“Apa boleh buat, pekerjaan ini terpaksa kulakukan untuk hidup, yah… lagi-lagi untuk hidup,” dibuangnya puntung rokok dengan getir.
Hhh … untuk hidup… benar, hanya untuk hidup. Aku maupun Masno selalu berharap ada sepasang sayap ajaib yang akan membawa kami terbang jauh, jauh meninggalkan damai di hutan ini.
##

Hari-hari terus berlalu. Kujalani semuanya tanpa semangat dan gairah lagi. Masno pun kuperhatikan serupa, lesu.
Seperti pagi ini, bertemankan secangkir kopi dingin, sedingin sinis pagi, aku menikmati ketaksemangatanku. Beberapa hari ini turun hujan cukup deras, persis seperti ramalan cuaca. Aku kuatir, kemarin kayu-kayu yang telanjur diceburkan ke sungai berhanyutan, raib ditelan banjir.
Jika cuaca begini terus, alamat buruk buat kami semua. Hasil tebangan musnah, keselamatan kami pun terancam. Pohon-pohon sudah kami tebangi, longsor kini menghantui setiap saat. Hanya berharap dan berdoa yang bisa terus kami lakukan, kami hampir putus asa.
Kuputar tombol tuner radio bututku. Hendak kudengar warta pagi ini.
Pendengar sekalian, hujan yang turun terus-menerus selama beberapa har iterakhir ini telah menyebabkan banjir dan tanah longsor. Ada beberapa pihak yang berpendapat, bencana ini disebabkan adanya pembalakan liar di kawasan hutan. Sampai berita ini diturunkan, desa yang terkena banjir dan longsoran tanah adalah desa …, …., ….
Batinku terpukul. Salah satu desa yang disebut oleh penyiar radio itu adalah desa tempat tinggalku. Kupandangi Masno yang juga terperanjat. Tanpa berpikir panjang lagi, kami berdua bergegas meninggalkan pondok dan berlari menuju sungai. Kami harus tiba secepatnya di desa. Tak kupedulikan teriakan Barjo dan Gundul yang mencoba mencegah. Tak kupedulikan banjir yang masih melanda sungai. Aku dan Masno mendorong perahu dengan hati gemuruh.
Aku teringat salam istriku, cepat pulang Kang. Entah bagaimana nasibnya sekarang? Aku teringat raport anakku. Aku ingin sekali mengambilkannya dan mendampinginya di atas podium.

*Cerpen ini terpilih sebagai pemenang 2 lomba menulis cerpen Komunitas Ayo Menulis Bengkulu. Terbit dalam bentuk buku antologi berjudul "Lukisan Merah Putih". 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

~ Terima kasih sudah berkunjung. Silakan berkomentar di sini. Komentar Anda sangat berharga bagi saya. Jangan ada spam, SARA, pornografi, dan ungkapan kebencian. Semoga bermanfaat. ~