2016-10-17

Antologi Puisi dan Cerpen Dentam Swarnadwipa

Alhamdulillah, akhirnya lahir lagi buku antologi yang memuat karya saya. Buku antologi dengan judul Dentam Swarnadwipa ini adalah antologi Puisi dan Cerpen Balai dan Kantor Bahasa se-sumatra. Penulis sendiri memang staf di Kantor Bahasa Bengkulu, salah satu kantor bahasa yang ada di wilayah Sumatra.

Dalam antologi tersebut, termuat 39 puisi dan 10 cerpen. Antologi tersebut diterbitkan oleh Kantor Bahasa Bengkulu bekerja sama dengan palagan Press, Riau. 

Karya penulis yang dimuat adalah cerpen berjudul Balada Arjuna. Mengisahkan seorang gadis bernama Halimah yang terpaksa memendam cinta pada sosok Teguh. Apa daya karena memang tak jodoh, mereka tak bisa menyatu. Bahkan untaian cerita cinta tersebut akhirnya mengendap dalam hati.


Inilah penggalan cerpen saya di buku tersebut.

 Balada Arjuna

Ahmad Khoirus Salim
Kantor Bahasa Bengkulu

Kering kerontang berbatu-batu. Dataran ini memang lumayan tandus. Halimah termangu-mangu menikmati keindahan bebatuan cokelat itu. Keindahan yang miris memang. Bebatuan berserakan yang seolah tiada makna, tetapi, bagi Halimah, selaksa cerita berpendaran dari sela-sela bebatuan itu. Berbagai cerita yang menorehkan sejarah hidupnya tersedia di sini, di dataran ini. Tandus. Sekering hatinya saat ini. Pilu meratapi nasib, ataukah berserah diri pada takdir yang telah digariskan alam raya? Entahlah. Kering tandus mungkin masih akan berseri dan bersemi suatu saat nanti.
Tiga bulan lampau, desa tempat tinggal Halimah kedatangan tamu. Bak dikirimkan dari langit, seorang pemuda tampan dan cerdas tiba-tiba datang. Teguh namanya. Pemuda itu memperkenalkan diri pada penduduk desa, ia mengemban tugas dari kantor kecamatan untuk menanggulangi buta huruf. Desa tempat tinggal Halimah memang tergolong desa tertinggal. Masih banyak warganya yang belum melek huruf. Oleh karena itu, diutuslah tenaga pengajar untuk membimbing penduduk desa mengenali huruf, melatih baca tulis. Demikianlah mulanya kisah menyesakkan dada ini tersaji.
Teguh, si tampan cerdas itu, tinggal di rumah Pak Lurah. Kebetulan, rumah Pak Lurah persis bersebelahan dengan rumah Halimah. Tak ayal lagi, mereka berdua sering bersua. Pagi, siang, sore, maupun malam. Selaras dengan pepatah, tumbuhnya cinta karena terbiasa. Terbiasa bersemuka, mau tak mau menggetarkan dawai-dawai hati Halimah. Dawai-dawai itu berdentingan mengalunkan bebunyian yang indah namun aneh. Siang dan malam nada-nada itu senantiasa mengalun. Nada-nada itu mengisi jiwa Halimah dengan keindahan dan impian-impian. Menerbangkan hayalannya tinggi ke awang-awang.
... ... ...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

~ Terima kasih sudah berkunjung. Silakan berkomentar di sini. Komentar Anda sangat berharga bagi saya. Jangan ada spam, SARA, pornografi, dan ungkapan kebencian. Semoga bermanfaat. ~